Tanggal 12/10 kemarin,
kuselesaikan urusan ku dengan wawan. Sedikit
demi sedikit, bebanku mulai terangkat, semoga yang lainnya secepatnya juga akan
menyusul. Sejuta rupiah untuk memutuskan sebuah tali persaudaraan, sungguh
murah sekali menurutku. Sebuah masalah yang seharusnya ku selesaikan 2 tahun
yang lalu, benar-benar ironis.
Hari Sabtu tepat setelah salat
maghrib, kudatangi rumah bekas saudaraku itu, ku siapkan uang sejuta rupiah
untuk membayar sisa hutang koperasi dia. Ku ketuk pintu rumah nya yang memang
sudah terbuka, karena ga ada jawaban, aku langsung masuk. Kulihat iparku lagi
santai nonton teve dengan dua keponakanku. Kutanyakan kemana suaminya (baru
kali ini aku bicara dengannya setelah kejadian SMS itung2an). Dia jawab diluar,
aku kembali keruang tamu, dan kulihat wawan baru masuk rumah, rupanya dia habis
sibuk otak atik mobil barunya.
Aku duduk diruang tamu, ku jaga
emosi semampuku, kutanyakan masalah hutang piutang. Dahulu dia pernah
menjanjikan bantuan 1 juta rupiah untuk memperbaiki mobil , kupikir daripada
rame dirumah (entah alasan apapun yang bisa menjadi sumber omelan) kuputuskan
kuperbaiki di rumah teman.
Mas Rudi teman baik ku yang
bekerja di bengkel siap membantuku. Tidak pernah bisa kulupakan jasa2 orang ini.
Dia kerjakan mobil orangtuaku tiap malam sepulang kerja, dirumahnya. Untuk
spare parts aku harus ngutang ke temanku yang punya toko onderdil di JL Untung
Suropati Bjn. Selama 7 malam dikerjakan sendiri, sesekali ku tengok kerumahnya,
kulihat ruang tamu ukuran 4X6 penuh deretan “jerohan” mesin sedan Honda
prestige ’85, dan tidak pernah mematok harga berapa yang harus dibayar untuk
semua jerih payahnya. Karena orang ini paham betul bagaimana sifat ku dan
seluruh keluargaku.
Suatu siang saat perbaikan mobil itu,
wawan datang ke tokoku menanyakan biaya perbaikan secara langsung, karena dia
SMS ke aku ga pernah kubalas. Karena merasa kesal, apes dan harus menanggung
beban sendiri, ga satu jawaban pun dia dapat, sebelum kembali ke kantor dia
tegaskan lagi kalo mau bantu sejuta utk perbaikan mobil itu. Mungkin dia “merasa”,
karena dia yang paling sering menggunakannya, kok aku yang harus nanggung
semua. Sampai malam kemarin (12/10) baru ku ungkit, karena betapa kesalnya aku
selama ini ditagih lewat SMS maupun lewat ibuku. Dan sudah kuduga, bagaimana
jawabannya saat ku ungkit masalah bantuan sejuta perbaikan mobil itu. “ la jare
arep mbok tanggung dewe”, pingin ngakak dalam hati, baiklah uang sejuta sudah
kusiapkan, dan kutaruh diatas meja ruang tamunya, berarti urusan kita selesai,
aku putuskan tali persaudaraan, kusuruh dia keluarkan semua barang ku dari
rumahnya (yang katanya kuberikan pada keponakan2ku, padahal istrinya yang minta
supaya digunakan utk keponakanku), karena lebih baik kuberikan ke pemulung
daripada suatu saat nanti pasti jadi masalah (suatu saat pasti dibilang
barang2ku cuma mengotori rumahnya). Sejuta yang pernah dia janjikan tetap
kuanggap hutang, aku ga akan menagih utk ke2 kalinya. Biar jadi perhitungan
nanti di akhirat, karena pada dasarnya aku sekarang juga ga butuh duit dari dia
sepeserpun. Aku beranjak keluar ruang tamu dan langsung makan diwarung tetangga
sebelah, lapar karena sehari cuman
sarapan pagi.
Sejam kemudian istrinya (iparku)
dating ke loundryku, ngomel2 yang katanya aku ga punya rasa terimakasih sudah
ditulung lah, ga lihat betapa kasihannya keponakanku lah, atau beratnya dia
ngasih makan 3 mulut disbanding aku yg lapar cuman mulut2 ku sendiri, ga bisa
menghargai orangtua lah. Yah kujawab dengan enteng, cuman “allhamdullilah”. Aku Cuma bisa ketawa dalam hati, dia pernah
SMS saat aku pulang dari jkt untuk ambil sisa2 barangku, dia bilang kalo aku
sudah ngrepoti, mas Gun (kakakku yang dibandung) ngrepoti dia, ibu (mertuanya
dia sendiri) juga ngrepoti dia, masak holo (besi sisa rangka atap plafon) yang
dia gunakan harus dibeli. Padahal saat itu memang aku sedang tidak punya uang
sama sekali. Kepulanganku dari jkt, rencanaku untuk ambil barang2 sisa untuk
kujual dan kupakai biaya hidup di jkt. Yah daripada rame, aku ngalah, ga dapat duit
dari barang2 sisa ku, aku masih punya kartu kredit Mega. Ku gesek di kota, ku
ambil tunai (tanpa hitungan brp bunga yg akan kubayar nanti), langsung balik
lagi ke Jakarta, mengadu keberuntungan.
Aku anggap lunas masalah repot
ngrepoti dengan wawan sekeluarga, karena pada dasarnya kalo mau hitung2an
saling ngrepoti, siapa yang paling direpoti? Kalo Cuma dia harus hutang
koperasi supaya bisa menahanku utk tidak keluar dari kota ini 2 tahun yg lalu,
sudah kubayar lunas (uang) plus dengan menghukum diri atas penyesalanku karena
tidak percaya dengan hati nuraniku saat itu, dengan merendahkan diri mau
mencuci pakaian orang lain selama 9 bulan nanti.
Kalo aku tidak tahu terimakasih,
apakah dia (iparku) pernah sekalipun berterimakasih dengan semua bantuan2ku
dulu. Bagaimana saat malam takbiran operasi Caesar anaknya yg kedua, sedikt
banyak aku bantu (walaupun itu hutang dan sudah dibayar), apakah ada ucapan
terimakasih, kalo waktu pergi rame2 belanja (tiap akhir bulan dulu aku bantu
keluarga dengan mencukupi sedikit byk kebutuhan rumah), aku yang bayar,
walaupun tidak semua belanjaan dia (gila apa memang aku harus bayar semua
belanjaannya), setiap kali datang ke tokoku pinjam hp utk telephon ke
keluarganya berjam2, apakah dia ingat bertrimakasih, jajan anak2nya kalo ketemu
aku dimanapun. Berat rasanya aku menulis itungan2 seperti ini, kenapa aku jadi
ikut2an peritungan, memalukan buat diriku. Tapi biarlah, sekali ini aja aku
melakukan hal bodoh ini (itung2an).
Tapi lebih beruntung nya diriku,
kakakku memutuskan balik kebandung setelah kepergianku ke jkt dari rumah ini.
Seandainya dia jadi bekerja dan menetap di kota ini, tidak bisa kubayangkan
bagaimana aku menyesali nya seumur hidupku, karena yang mengundang dan mengajak
nya dia untuk mengadu nasib di tempat ini adalah aku. Bagaimana jadinya nanti,…
Allah maha bijaksana… Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar