Rabu, 16 Oktober 2013

KISAH SEJUTA RUPIAH



Tanggal 12/10 kemarin, kuselesaikan urusan ku dengan wawan.  Sedikit demi sedikit, bebanku mulai terangkat, semoga yang lainnya secepatnya juga akan menyusul. Sejuta rupiah untuk memutuskan sebuah tali persaudaraan, sungguh murah sekali menurutku. Sebuah masalah yang seharusnya ku selesaikan 2 tahun yang lalu, benar-benar ironis.
Hari Sabtu tepat setelah salat maghrib, kudatangi rumah bekas saudaraku itu, ku siapkan uang sejuta rupiah untuk membayar sisa hutang koperasi dia. Ku ketuk pintu rumah nya yang memang sudah terbuka, karena ga ada jawaban, aku langsung masuk. Kulihat iparku lagi santai nonton teve dengan dua keponakanku. Kutanyakan kemana suaminya (baru kali ini aku bicara dengannya setelah kejadian SMS itung2an). Dia jawab diluar, aku kembali keruang tamu, dan kulihat wawan baru masuk rumah, rupanya dia habis sibuk otak atik mobil barunya.
Aku duduk diruang tamu, ku jaga emosi semampuku, kutanyakan masalah hutang piutang. Dahulu dia pernah menjanjikan bantuan 1 juta rupiah untuk memperbaiki mobil , kupikir daripada rame dirumah (entah alasan apapun yang bisa menjadi sumber omelan) kuputuskan kuperbaiki di rumah teman.
Mas Rudi teman baik ku yang bekerja di bengkel siap membantuku. Tidak pernah bisa kulupakan jasa2 orang ini. Dia kerjakan mobil orangtuaku tiap malam sepulang kerja, dirumahnya. Untuk spare parts aku harus ngutang ke temanku yang punya toko onderdil di JL Untung Suropati Bjn. Selama 7 malam dikerjakan sendiri, sesekali ku tengok kerumahnya, kulihat ruang tamu ukuran 4X6 penuh deretan “jerohan” mesin sedan Honda prestige ’85, dan tidak pernah mematok harga berapa yang harus dibayar untuk semua jerih payahnya. Karena orang ini paham betul bagaimana sifat ku dan seluruh keluargaku.
Suatu siang saat perbaikan mobil itu, wawan datang ke tokoku menanyakan biaya perbaikan secara langsung, karena dia SMS ke aku ga pernah kubalas. Karena merasa kesal, apes dan harus menanggung beban sendiri, ga satu jawaban pun dia dapat, sebelum kembali ke kantor dia tegaskan lagi kalo mau bantu sejuta utk perbaikan mobil itu. Mungkin dia “merasa”, karena dia yang paling sering menggunakannya, kok aku yang harus nanggung semua. Sampai malam kemarin (12/10) baru ku ungkit, karena betapa kesalnya aku selama ini ditagih lewat SMS maupun lewat ibuku. Dan sudah kuduga, bagaimana jawabannya saat ku ungkit masalah bantuan sejuta perbaikan mobil itu. “ la jare arep mbok tanggung dewe”, pingin ngakak dalam hati, baiklah uang sejuta sudah kusiapkan, dan kutaruh diatas meja ruang tamunya, berarti urusan kita selesai, aku putuskan tali persaudaraan, kusuruh dia keluarkan semua barang ku dari rumahnya (yang katanya kuberikan pada keponakan2ku, padahal istrinya yang minta supaya digunakan utk keponakanku), karena lebih baik kuberikan ke pemulung daripada suatu saat nanti pasti jadi masalah (suatu saat pasti dibilang barang2ku cuma mengotori rumahnya). Sejuta yang pernah dia janjikan tetap kuanggap hutang, aku ga akan menagih utk ke2 kalinya. Biar jadi perhitungan nanti di akhirat, karena pada dasarnya aku sekarang juga ga butuh duit dari dia sepeserpun. Aku beranjak keluar ruang tamu dan langsung makan diwarung tetangga sebelah, lapar karena sehari  cuman sarapan pagi.
Sejam kemudian istrinya (iparku) dating ke loundryku, ngomel2 yang katanya aku ga punya rasa terimakasih sudah ditulung lah, ga lihat betapa kasihannya keponakanku lah, atau beratnya dia ngasih makan 3 mulut disbanding aku yg lapar cuman mulut2 ku sendiri, ga bisa menghargai orangtua lah. Yah kujawab dengan enteng, cuman “allhamdullilah”.  Aku Cuma bisa ketawa dalam hati, dia pernah SMS saat aku pulang dari jkt untuk ambil sisa2 barangku, dia bilang kalo aku sudah ngrepoti, mas Gun (kakakku yang dibandung) ngrepoti dia, ibu (mertuanya dia sendiri) juga ngrepoti dia, masak holo (besi sisa rangka atap plafon) yang dia gunakan harus dibeli. Padahal saat itu memang aku sedang tidak punya uang sama sekali. Kepulanganku dari jkt, rencanaku untuk ambil barang2 sisa untuk kujual dan kupakai biaya hidup di jkt. Yah daripada rame, aku ngalah, ga dapat duit dari barang2 sisa ku, aku masih punya kartu kredit Mega. Ku gesek di kota, ku ambil tunai (tanpa hitungan brp bunga yg akan kubayar nanti), langsung balik lagi ke Jakarta, mengadu keberuntungan.
Aku anggap lunas masalah repot ngrepoti dengan wawan sekeluarga, karena pada dasarnya kalo mau hitung2an saling ngrepoti, siapa yang paling direpoti? Kalo Cuma dia harus hutang koperasi supaya bisa menahanku utk tidak keluar dari kota ini 2 tahun yg lalu, sudah kubayar lunas (uang) plus dengan menghukum diri atas penyesalanku karena tidak percaya dengan hati nuraniku saat itu, dengan merendahkan diri mau mencuci pakaian orang lain selama 9 bulan nanti.
Kalo aku tidak tahu terimakasih, apakah dia (iparku) pernah sekalipun berterimakasih dengan semua bantuan2ku dulu. Bagaimana saat malam takbiran operasi Caesar anaknya yg kedua, sedikt banyak aku bantu (walaupun itu hutang dan sudah dibayar), apakah ada ucapan terimakasih, kalo waktu pergi rame2 belanja (tiap akhir bulan dulu aku bantu keluarga dengan mencukupi sedikit byk kebutuhan rumah), aku yang bayar, walaupun tidak semua belanjaan dia (gila apa memang aku harus bayar semua belanjaannya), setiap kali datang ke tokoku pinjam hp utk telephon ke keluarganya berjam2, apakah dia ingat bertrimakasih, jajan anak2nya kalo ketemu aku dimanapun. Berat rasanya aku menulis itungan2 seperti ini, kenapa aku jadi ikut2an peritungan, memalukan buat diriku. Tapi biarlah, sekali ini aja aku melakukan hal bodoh ini (itung2an).
Tapi lebih beruntung nya diriku, kakakku memutuskan balik kebandung setelah kepergianku ke jkt dari rumah ini. Seandainya dia jadi bekerja dan menetap di kota ini, tidak bisa kubayangkan bagaimana aku menyesali nya seumur hidupku, karena yang mengundang dan mengajak nya dia untuk mengadu nasib di tempat ini adalah aku. Bagaimana jadinya nanti,… Allah maha bijaksana… Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar